Menu 1.1
Menu 1.2
Menu 1.3
Menu 2.1
Menu 2.2
Menu 2.3
Menu 3.1
Menu 3.2
Menu 3.3

Jumat, 18 Februari 2011

SEMUA TENTANG PSIKOLOGI ANAK


7 CARA MENANGANI ANAK YANG SUKA MENENTANG

Penentangan merupakan sifat yang tampak dan diketahui secara umum pada beberapa anak, yang di antara bentuknya yaitu anak menolak dan tidak mau melakukan apa yang diperintahkan kepadanya.
Kapankah penentangan dimulai?Penentangan mulai tampak pada awal pertumbuhan anak, anak sebelum berusia 2 tahun tidak menunjukkan tanda-tanda penentangan pada perilakunya, karena dia masih tergantung sepenuhnya pada ibunya atau selainnya dalam segala halnya, sehingga ketaatan anak pada masa ini adalah ketaatan semu.
Penentangan memiliki beberapa fase:
1.    fase awal, yaitu ketika anak sudah mulai berjalan dan berbicara sebelum umur 3 tahun atau setelah usia 2 tahun. Hal ini merupakan ekspresi kebebasannya dan pikirannya, maka penentangannya pada masa ini berupa khayalan-khayalan dan keinginan-keinginan.
2. fase kedua, yaitu ketika anak sudah mulai disapih dari orang tuanya. Akan tetapi umumnya bersama dengan perjalanan waktu anak akan menyadari bahwa penentangannya bukanlah jalan yang baik untuk mencapai keinginannya. Dia akan mempelajari dari kebiasaan-kebiasaan lingkungannya dalam meminta dan memberi, dan dia akan menemukan bahwa tolong-menolong dan saling memahami akan membuka wawasan yang baru tentang berbuat baik dan ketrampilan-ketrampilan yang baru, khususnya ketika kedua orang tua bergaul dengan anak dengan sikap saling memahami dan membuka pintu dialog disertai adanya kelembutan dan kasih sayang.
Bagaimana bergaul dengan anak yang suka menentang?
Para ahli pendidikan mengatakan bahwa sebagian besar penyebab terjadinya penentangan pada anak adalah karena orang tuanya. Anak dilahirkan tanpa mengetahui apa itu menentang. Maka ketika sang ibu karena saking cintanya kepada anak, selalu menuruti kehendak anak, tatkala anak suatu ketika tidak mendapatkan apa yang dia inginkan maka ketika inilah dia mempelajari “penentangan”.
Di antara cara menghadapi anak yang demikian adalah sebagai berikut:
1.    Tidak terlalu memaksa anak untuk taat.
Orang tua perlu menggunakan cara yang lembut dalam bergaul dengan anak yang demikian. Penentangan yang sifatnya masih kecil mungkin untuk dimengerti, dan bisa saja orang tua mengabulkan permintaan anak selama permintaan itu tidak menimbulkan sesuatu yang membahayakan dan selama permintaan itu bisa dikabulkan dengan mudah oleh orang tua.
2.    Memalingkan anak dengan hal lain jika dia masih kecil. Sedangkan jika sudah besar maka cara yang digunakan adalah memberinya pemahaman tentang keinginan-keinginannya apakah benar ataukah salah.
3.    Berdialog dengan anak, sehingga anak merasa tetap diperhatikan meskipun tidak diberi apa yang dia minta.
4.    Memberi hukuman ketika terjadi penentangan secara langsung, dengan syarat mengetahui jenis hukuman yang tepat bagi anak. Karena hukuman berbeda-beda pengaruhnya pada anak yang satu dengan yang lain. Maka hukuman mem”boikot”nya dengan melarangnya keluar atau dari sesuatu yang dia sukai kadang memberi pengaruh yang baik pada satu anak tapi tidak bagi anak yang lain. Akan tetapi yang perlu diperhatikan adalah jangan menggunakan hukuman pukulan atau celaan-celaan karena hal itu akan menimbulkan rasa kehinaan dan rasa frustasi.
5.    Tidak menggunakan bahasa yang mengisyaratkan bahwa kita menolak permintaan anak, karena hal itu akan menjadikan dia merasa tidak dihargai dan justru menambah sikap penentangan.
6.   Tidak menyifatinya dengan penentangan di hadapan orang lain atau anak lain dengan perkataan kita, “Mereka itu tidak suka menentang sepertimu!”.
7.    Pujilah anak anda ketika dia melakukan perbuatan baik dan bersikaplah realistik ketika membatasi permintaan anak anda


Duh, Anakku Suka Membantah
By Muhammad Baitul Alim + August 6th, 2009


Tak selamanya anak bersikap manis dan penurut. Bahkan di saat-saat tertentu anak justru sering membantah. Jangan kaget menghadapinya. Dengan penanganan yang tepat, anak yang suka membantah bisa kok dijinakkan.
Dalam rentang usia 8 sampai 11 tahun, anak bisa tampil mengejutkan orangtua dengan tiba-tiba menjadi “doyan” membantah. Kapan waktu tepatnya, tentu tak ada patokan pasti. Usia 8 samapai 11 tahun perilaku membantah yang memusingkan kepala orangtua lebih sering ditemukan.
Pada masa ini, anak memang mengalami fase-fase peralihan fisik dan emosi dari rentang hidup sebagai anak-anak menuju masa remaja. Pada saat ini, anak sangat ingin menunjukkan identitas pribadi, sementara orientasi dirinya justru sedang bergeser. Dalam berbagai perbedaan kepentingan dan “rasa” anak pun memunculkan sikap membantah sebagai unjuk diri.
Membantah sebagai protes
Bila sikap membantah muncul pada rentang usia 8 sampai 9 tahun, jelas ini penyebabnya bisa jadi sikap orangtua yang terlalu melindungi atau over protective. Padahal di usia anak 8-9 tahun, anak tidak suka perlindungan yang berlebihan dan bahkan sedang memiliki rasa ingin tahu amat besar terhadap lingkungan. Bila terlalu dibatasi, tentu saja anak cenderung memberontak, menolak, yang kemudian diartikan orangtua sebagai sikap membantah.
Tapi sebaliknya, anak usia dibawah 8 tahun ini pun juga bisa membantah sebagai wujud protes. Misalnya, anak protes yang karena orangtuanya terlalu sibuk, hingga kurang memperhatikan dirinya. Padahal, bagi anak, perhatian dan kasih sayang orang tua merupakan faktor penting bagi keamanan dan kenyamanan hidupnya.
Karena itulah perhatian dan kasih sayang orangtua perlu diukur dalam porsi pas, agar tidak diterima anak terlalu besar dan membuat anak tertekan. Sebalikknya membiarkan anak tanpa aturan pun tidak baik. Ada juga orang tua yang mengartikan perhatian dan kasih sayang dengan menuruti semua keinginan anak dan semua serba boleh. Yang seperti itu juga salah dampaknya nanti anak menjadi susah diatur.
Pola asuh tarik ulur
Kadang sikap membantah juga muncul sebagai suatu bentuk ungkapan perbedaan pendapat. Beda pendapatnya sendiri, tentu sah-sah saja. Karena kita semua memahami bahwa tak mungkin selamanya pendapat orangtua dan anak sering sejalan.
Namun, dibutuhkan sebuah dialog dan kompromi agar perbedaan pendapat ini bisa dijembatani dan tidak hancur hanya dalam kubangan saling membantah. Jembatan akan memudahkan orang tua dan memandang perbedaan untuk dicari jalan tengah, bukan sebagai jalan anak untuk membantah orangtua atau sebaliknya jalan orang tua yang marah pada anak.
Idealnya, pola asuh terbaik menerapkan system demokratis, dimana orang tua mengartikan perhatian dan kasih sayang dengan cara tarik ulur kadang dibatasi namun suatu saat dilepas. Dengan pola asuh ini orang tua mau mendengarkan pendapat atau ide dari anak-anaknya, tapi tetap memberi batas.
Misalnya pada jam 6 malam anak mau menonton televisi. Orangtua tidak langsung melarang karena pasti akan terjadi perbedaan pendapat dan anak membantah, tetapi cobalah bernegoisasi, bahwa anak boleh menonton dengan syarat setelah jam 7 harus belajar. Bila melanggar, konsekuesi yang disepakati harus jelas. Misalnya, besok tidak boleh menonton lagi.
Penerapan dengan cara ini bisa meyakinkan anak bahwa orangtua memberikan kepercayaan  sekaligus memintanya menjaga tanggung jawab dan disiplin.
Bangun kepercayaan dan jadilah sahabat anak
Meski demikian masa peralihan dari anak menuju dewasa, memang merupakan masa kritis pada anak, sehingga orangtua perlu memahaminya pula. Bila dimasa sebelumnya belum terbangun kepercayaan yang kokoh, orientasi anak tentu akan lebih dominan tersedot pada teman sebayanya. Maka jurus jitu untuk menjadi sahabat anak dimasa peralihanya adalah dengan membangun komunikasi yang efektif, sejak sekarang.

“Ayo sayang kamu bisa kok…Ummi tahu kamu bisa melakukannya” aku berusaha selalu memberi support anak-anak bisa melakukan hal-hal sederhana yang mestinya bisa mereka lakukan sendiri. Tapi adakalanya mereka mau, adakalnya juga tidak.  Bahkan berbuntut anak jadi rewel dan ngambek. waw… memang menghadapi anak-anak harus super sabar. Di paksa sedikit aja sudah membuat suasana berubah jadi kisruh.
Betapa senangnya memiliki anak mandiri dan memiliki kepercayaan diri. Sebenarnya apa sih yang mempengaruhi kemandirian dan kepercayaan diri anak ?
Kemandirian bukanlah keterampilan yang muncul tiba-tiba, tetapi perlu diajarkan kepada anak. Tanpa diajarkan, anak-anak tidak tahu bagaimana harus membantu dirinya sendiri. Kemampuan bantu diri inilah yang dimaksud dengan mandiri.Kemandirian fisik adalah kemampuan untuk mengurus dirinya sendiri. Sedang kemandirian psikologis adalah kemampuan untuk membuat keputusan dan memecahkan masalah sendiri.
Ketidakmandirian fisik bisa berakibat pada ketidakmampuan psikologis. Anak yang selalu dibantu akan tergantung pada orang lain karena merasa tidak memiliki kemampuan untuk mengurus dirinya sendiri. Akibatnya, ketika ia menghadapi masalah, ia akan mengharapkan bantuan orang lain untuk mengambil keputusan bagi dirinya dan memecahkan masalahnya.
Nampaknya ada beberapa faktor yang mempengaruhi kemandirian anak :
  1. Faktor bawaan. Ada anak yang berpembawaan mandiri, ada yang memang suka dan menikmati jika dibantu orang lain.
  2. Pola asuh. Bisa saja anak berpembawaan mandiri menjadi tidak mandiri karena sikap orang tua yang selalu membantu dan melayani.
  3. Kondisi fisik anak. Anak yang kurang cerdas atau memiliki penyakit bawaan, bisa saja diperlakukan lebih “istimewa” ketimbang saudara-saudaranya, sehingga malah menjadikan anak tidak mandiri.
  4. Urutan Kelahiran. Anak sulung cenderung lebih diperhatikan, dilindungi, dibantu, apalagi orang tua belum berpengalaman. Anak bungsu cenderung dimanja, apalagi bila selisih usianya cukup jauh dari kakaknya.

EXPRESIKAN AKSIMU!!

Si kecil Anda sangat tidak percaya diri? Waspadailah! Jika Anda tidak mulai memperbaikinya dari sekarang, maka ia akan tumbuh menjadi anak yang pasif dan rendah diri. Buatlah aktivitas yang bisa merangsang rasa percaya dirinya. Salah satunya, bermain dengan cermin.
Sediakan sebuah cermin besar. Lalu mintalah anak Anda untuk berdiri di depan cermin dan melihat bayangannya di cermin tersebut. Lalu tunjuk salah satu bagian dari tubuhnya dan bertanya: “ini apa?”. Biarkan ia menjawabnya. Lalu tanyakan lagi fungsi-fungsi anggota tubuhnya tersebut. Misalnya, “kalau ini untuk apa?” sambil menunjuk tangannya. Tanyakan pula, “bagaimana jika tanganmu untuk memukul kawan, boleh tidak?”
Setelah Anda menanyai nama-nama bagian tubuhnya, kini mintalah ia berfokus pada wajahnya. Mintalah ia menunjukkan berbagai ekspresi; tertawa, menangis, tersenyum, menangis, marah, cemberut, dsb. Lalu beritahukan padanya, bahwa jika ia tersenyum, ia tampak manis dan cantik. Tapi, jika ia marah atau menangis, wajahnya menjadi menyeramkan dan jelek.
Anak-anak belajar mengekspresikan dirinya. Setelah pembelajaran sederhana tadi, mintalah mereka untuk berbicara “panjang” di depan cermin, seolah-olah ia sedang menghadapi orang banyak. Mintalah ia memperkenalkan dirinya; nama, umur, sekolah, nama ortu, alamat rumahnya, dsb. Dengan demikian, ketika ia di sekolah dan “mogok” untuk menjawab pertanyaan gurunya karena tidak PD, Anda bisa mengingatkannya soal permainan ini. “Anggaplah seperti kamu bicara dengan cerminmu…”

 

Ada 3 Tipe Orangtua : Anda tipe yang mana ?

Halo, selamat siang Pak. Saya Indri pembaca buku Hypnoparenting. Saya ingin minta waktu Bapak untuk konsultasi tentang masalah anak saya. Apakah Bapak ada waktu?�, demikian suara di seberang telepon. Setelah saya tanyakan apa masalahnya kemudian kami menyepakati jadwal bertemu.
Masalah Irwan, anak Ibu Indri, adalah masalah motivasi belajar. Irwan duduk di kelas dua sekolah dasar. Karena �malas� belajar maka nilainya jelek dan akhirnya ia jadi minder di hadapan teman-temannya. Tidak berhenti sampai di situ saja. Ia sering berkelahi dengan temannya dan berselisih dengan guru dan orangtuanya. Ibu Indri sering dipanggil oleh guru Irwan dan sang guru sudah angkat tangan terhadap masalah tersebut.
Pada hari yang telah disepakati saya menemui Ibu Indri dan Irwan. Setelah ngobrol ringan beberapa saat saya mengetahui bahwa Ibu Indri dan suaminya adalah tipe orangtua ketiga. Orangtua tipe pertama adalah orangtua �pencegah masalah�, orangtua tipe ini sering saya jumpai dalam seminar ataupun pelatihan intensif yang saya berikan. Orangtua tipe kedua adalah orangtua �pencari solusi�. Mereka mencari solusi atas permasalahan anaknya. Tipe ini juga sering saya jumpai di seminar saya dan tak jarang berlanjut ke janji konsultasi dan terapi. Tipe ketiga adalah orangtua �tahu beres�. Tipe ini hampir tidak pernah saya temui dalam seminar saya tetapi sering langsung datang ke ruang konsultasi dan terapi.
Orangtua tipe ketiga, seperti Ibu Indri dan suaminya, datang ke ruang terapi dengan harapan bahwa masalah anaknya langsung beres. Mereka berharap saya adalah makhluk ajaib yang langsung bisa menghipnosis anaknya untuk menuruti keinginannya.
Ketika mereka tahu bahwa proses perubahan anaknya menuntut proses perubahan diri mereka sendiri maka mereka jadi terheran-heran. Orangtua tipe ketiga sering tidak menyadari bahwa permasalahan anaknya bersumber dari pendekatan yang salah yang mereka lakukan sejak anak tersebut menjalani proses tumbuh kembangnya. Orangtua tipe ketiga sering menganggap bahwa anaklah yang sepenuhnya bertanggung jawab atas masalahnya. Mereka benar-benar susah untuk menerima kenyataan bahwa merekalah pemicu utama dari tindakan anak-anaknya.
Mengapa bisa begitu? Karena pada awal mulanya anak-anak hanya merespon sikap dan tindakan orangtuanya. Ketika orangtua mengulangi sikap dan tindakannya maka si anak juga mengulang respon yang sama. Dan akhirnya karena sering diulang maka hal ini menjadi kebiasaan dan karakter si anak.
Setelah saya memberikan masukan pada Ibu Indri dan suaminya tentang masalah Irwan kemudian saya mulai membantu Irwan secara pribadi untuk mulai mengubah cara pandangnya. Pada dasarnya ia anak yang sangat baik dan cukup punya pengertian tentang berbagai masalahnya. Ia mulai menyadari bahwa kejengkelan terhadap orangtuanya yang sering menjadi pemicu dari sikapnya. Saya meyakinkan padanya bahwa papa mamanya akan mengubah pendekatan mereka padanya. Setelah itu kami berpisah.
Satu bulan kemudian Ibu Indri menelepon saya untuk minta waktu lagi. Ia mengatakan bahwa perubahan anaknya hanya terjadi dua minggu saja. Setelah itu sikapnya balik lagi seperti semula.
Singkat cerita kami bertemu kembali. Dan saya tahu apa yang harus saya katakan pertama kali untuk memeriksa kembali kasus ini. Pertanyaan saya pertama adalah seberapa konsisten ibu Indri dan suaminya menjalankan apa yang saya minta. Mereka langsung mengatakan bahwa mereka susah sekali untuk mengubah pola pendekatannya ke Irwan. Mereka sering kembali lagi ke pola lama mereka yang menggunakan bentakan, cemoohan dan perkataan yang merendahkan secara tidak langsung. Mereka sering mengambil jalan pintas.
�Lalu saya harus bagaimana lagi. Saya sudah jengkel dan tak sabar melihat sikapnya. Saya kan masih banyak pekerjaan lain. Saya tidak mengurusi dia saja kan?�, demikian Ibu Indri membela dirinya.
�Kalau begitu siapa yang harus mengurusi Irwan yang masih sekecil itu?�, demikian saya ingin tahu jawabannya. �Lha saya kan sudah sekolahkan dia. Saya sudah panggilkan guru les ke rumah untuk menemaninya belajar. Saya sudah sediakan pengasuh khusus untuknya. Apa lagi yang harus saya lakukan?�, demikian katanya setengah putus asa.
�Hmmmm tapi bukan itu saja yang dibutuhkan Irwan. Mereka semua tidak bisa memenuhi tangki cinta Irwan. Hanya Ibu dan Bapak yang bisa melakukannya. Dan Irwan benar-benar mengharapkan hal itu dari Bapak dan Ibu tetapi ia jarang mendapatkannya. Kedekatan fisik Bapak Ibu tidak berarti kedekatan emosional. Masalah ini hanya bisa diselesaikan jika bapak Ibu berkomitmen pada diri sendiri untuk melakukan perubahan sehingga akhirnya Irwan akan meresponnya dengan cara berbeda pula. Bapak Ibulah yang menjadi terapis utama bagi Irwan bukan saya! Secanggih-canggihnya saya melakukan hipnoterapi pada Irwan tetapi jika Bapak Ibu di rumah, yang jelas lebih banyak berhubungan dengan Irwan, tidak mendukung tumbuhnya kebiasaan baru maka cepat atau lambat hasil terapi akan terkikis habis!� demikian saya menjelaskan.
Dari contoh kasus di atas jelas sekali bahwa peranan orangtua sebagai terapis bagi anaknya sendiri sangat besar. Orangtua adalah akar dari sebuah pohon yang akan menyerap segala nutrisi yang ada di sekitarnya dan kemudian menyalurkannya ke anak sebagai buah yang ada jauh di atas pohon. Untuk menghasilkan buah yang baik maka akarnya yang harus diperhatikan agar bisa menyalurkan nutrisi yang baik dan berguna bagi bakal buah yang akan berkembang. Ketika buah sudah sudah muncul maka perlakuan kita untuk mengubahnya hanya mempunyai pengaruh yang kecil atau bisa jadi terlambat.
Bagaimanakah dengan diri kita sendiri? Termasuk tipe orangtua manakah kita? Saya percaya artikel ini jatuh ke tangan orangtua tipe pertama dan kedua. Orangtua tipe ketiga yang tahu beres tidak akan mau repot membaca artikel ini. Bila Anda punya teman atau kerabat yang tipe ketiga, email atau beritahukan artikel ini pada mereka agar cepat sadar / tobat demi masa depan anak-anaknya. Salam hangat penuh cinta.

 

ANAK BELAJAR MENILAI DIRINYA DARI KITA

Dasar anak bodoh! Masa’ penjumlahan semudah ini saja nggak bisa?!”
Bayangkan ketika Anda kembali menjadi seorang anak berusia 4 tahun, lalu suatu ketika Anda mendapatkan bentakan dan omelan senada kalimat di atas saat Anda tidak bisa mengerjakan tugas hitungan Anda. Bagaimana perasaan Anda? Apa yang Anda pikirkan tentang diri Anda saat Anda menerima omelan tersebut?
Kata-kata “dasar bodoh”, “dasar pemalas”, “dasar jelek” dan sederet kata “dasar…” yang mengandung makna negatif itulah yang akan menjadi kesimpulan seorang anak terhadap dirinya. Ketika banyak input negatif yang masuk ke kepala seorang anak tentang dirinya, maka anak pun akan menilai dirinya negatif. Garbage in, garbage out. Sampah masuk, sampah keluar. Itu kaidahnya.
Lambat laun, ia akan menilai dirinya begini, “Kata mama aku anak bodoh, berarti aku bodoh dan nggak bisa apa-apa. Sekeras apapun usahaku, aku tetap anak bodoh, nggak ada artinya.”
Kebanyakan orangtua tidak menyadari bahwa mereka lebih sering menyerang “pribadi” anak daripada menyerang “perilaku” mereka. Nyaris sama, tapi dampaknya luar biasa berbeda.
Coba bandingkan kalimat di atas dengan kalimat berikut,
“Anak pintar sepertimu tentu bisa menyelesaikan tugas dengan baik. Ingat rumus yang mama ajarkan kemarin?”
Mana yang lebih enak dan menenangkan hati untuk didengar?
Reaksi kita sebagai orang tua dalam menghadapi kesalahan anak memang sering kali melahirkan kalimat-kalimat bernada negatif. Bisa jadi kita kesal, karena berulang kali memahamkan anak, ditambah dengan perilakunya yang sukar dikendalikan. Namun, itulah tugas kita sebagai orangtua. Harus mau membiasakan diri, harus lebih bersabar dalam menghadapi mereka.
Ajarkan anak untuk memberikan nilai positif terhadap dirinya. Dengan demikian, anak belajar mencintai dirinya sendiri secara positif. Ia akan berusaha membangun dirinya sebagaimana yang Anda dan orang lain harapkan darinya.

DILEMMA ADIK BARU

Rozan, bocah yang belum genap tiga tahun itu menghentakkan kakinya ke lantai dengan marah. Ia siap melempar krayonnya ke arah sang ibu yang sedang menyusui adiknya yang baru berusia tiga minggu. Mama Rozan hanya bisa mengelus dada.
Sejak kelahiran adik baru, tingkah Rozan berubah 180 derajat. Anak yang tadinya sangat penurut itu tiba-tiba menjadi sangat bandel, suka berteriak-teriak, suka marah-marah, dan bertambah cengeng. Sedikit saja kemauannya tidak dituruti, ia akan mengamuk. Yang jadi sasaran utama biasanya mama atau adik barunya. Entah menggigit, melempar barang, atau memukul.
Sebagaimana anak-anak pada umumnya, apa yang terjadi pada Rozan kecil itu bisa diwajari. Begitulah anak-anak. Mereka membutuhkan proses untuk mengerti dan menerima kehadiran adik baru. Ya, Anda bisa membayangkan, selama ini perhatian Anda sebagai orangtua berpusat pada kakak. Namun, setelah adanya adik baru, perhatian Anda “teralihkan”. Kakak, yang tidak lain adalah anak-anak yang juga belum mengerti pastilah berpikir, kenapa anak yang tahunya hanya ngompol dan menangis itu bisa jadi pusat perhatian?
Reaksi ketidakterimaan itu biasanya berbeda-beda pada tiap anak. Ada yang bereaksi dengan mengamuk seperti Rozan, ada juga yang bahkan menjadi sangat pendiam dan tidak pernah berulah. Namun, pada dasarnya ia menyimpan sebuah tekanan yang sangat besar dan berat. Jika dibiarkan seperti ini, maka anak dengan tipe kedua ini akan tumbuh menjadi anak yang pasif dan rendah diri.
Lalu, bagaimana solusinya?
Persiapkan sejak sebelum lahir. Ketika hamil, ceritakan pada anak Anda bahwa dulu ia pun berasal dari perut ibu, seperti calon adiknya. Dulu ia juga merasakan belaian Anda, bagaimana Anda menyayanginya dengan sepenuh hati Anda. Anak-anak akan merasa senang ketika ia membayangkan Anda mengelus perut Anda sementara ia ada di dalamnya.
Agar ia tak terkejut, Anda b isa menceritakan sejak awal, bahwa yang namanya bayi itu memang sering menangis karena belum bisa bicara, akan sering menyusu dan minta digendong. Berikan anak Anda pengertian, bahwa ketika adik lahir, Anda akan sangat repot mengurus adik bayi. Jadi tidak bisa menemaninya sesering dulu. Jadi, Anda meminta “bantuannya” untuk mau main sendiri, bahkan membantu Anda sesuai kemampuannya.
Anak-anak yang diberi pengertian sejak awal, juga diajak “menyambut” adik baru, akan lebih mudah diarahkan, insya Allah.
Mintalah bantuan orang ketiga, jika memang anak Anda berulah sangat nakal. Anda bisa saja menyewa baby sitter untuk menjaga bayi Anda pada saat-saat tertentu, agar Anda tetap bisa memperhatikan si kakak. Anda juga harus memiliki komitmen dengan suami Anda untuk saling bekerjasama dalam menggurus dan merawat anak. Misalnya, saat bayi Anda menangis, suami Anda harus segera tanggap untuk mengalihkan perhatian si kakak.
Jangan turuti maunya ketika ia berulah. Sering kali kita bereaksi dengan marah dan emosi ketika anak-anak berulah. Hal ini tidak akan mempan. Karena anak dengan tipe ini akan semakin senang membuat Anda marah. Hal terbaik adalah memberinya pengertian tanpa emosi dan marah, setelah itu Anda diam dan jangan perhatikan tingkahnya. Awalnya memang agak berat. Tapi, anak perlu tahu bahwa sikap buruknya tidak akan membuat Anda memperhatikannya. Jauhkan saja bayi Anda dari jangkauannya, juga barang-barang yang berpotensi untuk dirusak olehnya.
Buktikan bahwa Anda bisa bersikap adil. Bayi baru memang akan selalu menjadi pusat perhatian. Namun, jangan sampai Anda melalaikan anak-anak yang lain. Mereka pun memiliki hak yang sama atas perhatian Anda.
Akan lebih baik lagi jika Andadapat memperlihatkan foto atau rekaman masa bayinya. Dengan foto atau rekaman tersebut, Anda bisa memahamkannya, bahwa ketika bayi pun, ia seperti adiknya; menangis, digendong, dipeluk, disayangi, dan mendapatkan perhatian dari semua orang. Dengan demikian, kakak akan belajar memahami, bahwa memang menangis itu adalah tabiat bayi, dan ia akan mulai mengerti dan menaruh empati pada adik bayinya.
Libatkan. Anda bisa melibatkan kakak saat Anda mengurus bayi Anda. Misalnya, mengajaknya turut bermain air saat Anda memandikan bayi, mengambilkan popok kering, meletakkan popok basah di ember, atau bahkan membantu Anda mendiamkan ketika adiknya menangis.
Hargai perasaan-perasaan kakak dan pujilah keunggulannya. Anda bisa memberikan pujian semacam, “Subhanallah ya, kakak pintar sekali, sudah bisa ambil susu sendiri. Kalau adik, masih suka nangis…Mama bangga deh, sama kakak. Makanya, adik diajarin dong sama kakak, gimana sih, biar nggak suka nangis lagi?”
Yuk, kita belajar menjadi orangtua yang baik!

MENGASAH KETERAMPILAN PENGENDALIAN DIRI PADA ANAK

Mengapa ya anak sulungku yang sudah 10 tahun tapi masih sering menangis? lagi marah..menangis..: kalau protes juga nangis, lagi kesal juga nangis.. ” begitu pertanyaan seorang ibu, teman yang ku kenal lewat pondok ibu.
Setiap anak itu berbeda. ada tipe anak yang mudah, anak yang sedang, dan tipe anak yang sulit. Sehingga cara menangani setiap anak juga berbeda. ada yang perlu ditangani dengan mudah dan sederhana sudah mampu memahami apa yang di ajarkan / diarahkan. Tapi ternyata tidak begitu keadaannya dengan anak yang bertipe sulit.  Lalu kapan saat mengajarkan anak menendalikan dirinya?
Anak mampu menguasai diri baru dapat dilakukan ketika seorang anak mampu mengenal emosinya. Memberi berbagai gambar ekspresi wajah dapat dijadikan media perkenalan anak tentang macam-macam emosi, seperti senang, marah, sedih atau takut. Kemudian anak ajak untuk terbiasa mengungkapakan emosi yang ia rasakan dengan memberi nama pada emosi yang tampil di dirinya, “Aku sedang sedih” atau “aku marah”. Pembiasaan ini melatih seorang anak menyadari apa yang sedang terjadi dalam dirinya.
Pada beberapa anak yang belum dapat melabelkan emosinya, biasanya mereka akan melakukan hal yang sama, seperti menangis pada situasi yang berbeda. Ketika sedih ia menangis, pada saat marah ia pun menangis, pada saat orang bertanya mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya, ia hanya menangis tanpa tahu bagaiman cara mengkomunikasikan emosi yang ia rasakan.
Bagi anak-anak yang sudah mengenal dan mampu mengungkapkan apa yang ia rasakan, masalah yang sedang ia hadapi akan dapat terselesaikan dengan lebih cepat dan tuntas. Ia akan secara spontan mengatakan ; ” Aku marah, karena teman-teman menggangguku, aku tidak suka diganggu”. Orang lain yang mendengarnya akan lebih dapat meresponnya dengan baik dan tepat, tanpa harus menduga-duga sebelumnya.
Selanjutnya anak–anak di ajari bagaimana cara mengungkapkan emosi mereka dengan baik dan benar. Cukup mengekspresikan kemarahan mereka dengan wajah marah disertai kata aku marah, tanpa teriakan karena akan membuat sakit tenggorokannya atau telinga orang lain. Marah tanpa disertai pukulan atau agresi fisik terhadap orang yang membuatnya marah.
Pada saat ia sedih, anak boleh mengungkapkan kesedihannya dengan menangis, tak terkecuali anak laki-laki. Namun tidak perlu histeris atau tantrum, karena sekali lagi akan merugikan dirinya sendri maupun orang lain. Atau berlama-lama dalam menangis, yang menyebabkan sakit di anggota tubuh lainnya. Harapannya adalah, setelah mereka mampu mengekspresikan emosinya dengan baik, mereka mampu mencari jalan keluar atas permasalahannya secara mandiri. Jika hal tersebut di atas telah dapat dilakukan oleh seorang anak, berarti ia telah mampu mengontrol dirinya dengan baik.
Lalu bagaimana mengajarkan anak yang sudah 10 tahun menguasai dirinya dalam mengekpresikan emosinya sesuai dengan emosi yang wajar tanpa menangis?
Disamping melakukan upaya-upaya diatas, Kesabaran, pengertian, penghargaannya dan support terus menerus harus dilakukan. Setiap kali dia menangis, tunjukkan empati yang tulus kepadanya akan perasaannya sebelum bertanya kepadanya mengenai apa masalahnya dan apa yang dirasakan. sampai dia merasa nyaman dan tenang untuk mengutarakan perasaannya. apakah dia sedang kesal, marah, sedih,dll. Lalu ajarkan kepadanya jika dia sedang marah, maka dia bisa mengatakan kepada orang yang dipercayanya jika dia sedang marah, tanpa menyimpan kemarahannya yang kemudian akan meledak dengan tangisan. begitu juga jika sedang sedih atau kesal. Biasanya dengan mengutarakan apa yang dirasakan itu sudah sangat membantu mengurangi ganjalan dihatinya tanpa harus meledak dengan tangisan.
Bagaimanapun kesabaran akan memberikan hasil yang lebih baik. Bagi ibu atau orangtua memang tidak mudah untuk sabar dalam menghadapi berbagai tingkah anak yang sulit diatasi apalagi bagi anak yang menuntut dan harus diperlakukan dengan ekstra sabar dan lembut. Ketidaksabaran atau ledakan emosi kita justru akan berbuntut kerugian bagi perkembangan jiwa anak yang pada akhirnya kita (orangtua) juga yang akan merasakan akibatnya.
Ketika kita dianugrahkan anak yang sulit, kita harus selau berpositif thingking, bahwa kita mampu mengatasinya dan mampu menerima amanah ini dengan baik. karena Allah tidak akan memberi ujian lebih dari kemampuan kita. Yakinlah…
Barangkali ada dari pembaca yang membagi pengalamannya disini dan memberi saran kepada kita semua untuk bisa menjadi orangtua yang lebih baik dalam mengasah ketrampilan pengendalian diri anak?

MENGENAL TEMPERAMEN ANAK

“Mengapa ya anakku begini,padahal seharusnya dia tidak begini di usianya yang sekarang”
“Mengapa ya anakku begitu padahal anak lain yang seusianya,  bahkan yang lebih muda darinya tidak begitu”
Umumnya kita (orang tua) mempertanyakan tingkah polah / prilaku  anak-anak. Hal ini terjadi karena kurangnya pemahaman kita terhadap karakter dasar dari anak kita. Padahal setiap anak memiliki keperibadian / karakteristik/ prilaku yang berbeda dan unik. Bagaimanapun respon emosi anak seringkali mengikuti pola yang sama sepanjang hidupnya. Respon ini BIASANYA dipengaruhi oleh temperamen.

Temperamen itu apa sih?
Temperamen adalah reaksi khas dari seseorang terhadap terhadap orang lain atau keadaan.
Ada 3 temperamen yang biasanya ada pada seseorang. Memang tidak semuanya berlaku seperti itu, tetapi adanya perpaduan dari ketiga pola ini merupakan hal yang normal.
  1. Anak yang mudah (easy child). Secara umum, anak itu terlihat bahagia, fungsi biologisnya mempunyai ritme yang jelas, mudah menerima pengalaman baru. JIka frustasi tidak mudah rewel, cepat beradaptasi terhadapa rutinitas baru atau aturan permainan yang baru.
  2. Anak yang sulit (difficult child). Mudah terganggu dan sulit ditenangkan, ritme biologisnya tidak beraturan, sering mengekspresikan emosinya.
  3. Anak yang bereaksi perlahan (slow to worm up child). cenderung untuk bereaksi perlahan-lahan dan membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan orang lain dan situasi baru. (A. Thomas & Chess, 1977).
Mungkin banyak yang membayangkan bahwa anak yang sulit akan menimbulkan banyak persoalan. perlu diketahui bahwa semua tipe ini bisa saja menimbulkan masalah, jika kita sebagai orangtua tidak bisa memberi perlakuan yang tepat terhadap kebutuhan-kebutuhan anak.
Nah jika orang tua sudah dapat memahami temperamen anaknya, tentunya orangtua juga dapat mempersiapkan perlakuan yang tepat agar anak dan orangtua tidak mengalami kesulitan dikemudian hari. Misalnya untuk anak yang sulit beradaptasi dengan lingkungan baru, maka orangtua berusaha membekali anaknya dengan pengetahuan-pengetahuan atau keterampilan-keterampilan yang bisa dipergunakan pada saat itu.

MENGKRITIK ANAK TANPA DIBENCI

Biasanya, anak-anak akan lekas marah jika ia dikritik oleh orang tuanya meski jelas-jelas ia berbuat kesalahan. Kita sendiri sebagai orang tua pasti pernah bahkan mungkin sering mengkritik anak-anak kita sehingga membuatnya patah semangat, marah, dan akhirnya semakin menarik diri.
Sebagai orang tua, kita dituntut untuk memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dengan anak-anak kita. Kita tidak bisa sembarangan memberikan kritikan, mencela apa-apa yang dilakukan anak, meski itu sudah jelas kesalahannya.
Bagaimana cara menyampaikan kritik tanpa harus “dibenci” oleh anak?
Sampaikan secara tidak langsung. Misalnya, anak-anak Anda yang besar ribut, sementara Anda harus menidurkan bayi Anda. Anda mungkin akan meresponnya dengan marah atau mengusirnya pergi. Tentu mereka akan balas merespon Anda dengan marah dan menggerutu bukan? Anda mungkin bisa memberi mereka sebuah bola, dan berkata, “Ibu akan senang jika kalian bermain bola di luar”. Anak-anak Anda akan tahu bahwa mereka telah berbuat keributan, namun mereka akan senang karena Anda tidak menyebutkan kesalahan-kesalahan mereka. Anda justru memberi mereka hadiah, yang dengan itu mereka akan menghargai usaha Anda dengan bermain di luar, tanpa harus merasa marah.
Berikan pujian yang tulus dan hilangkan kata “tetapi”. Sering kali, kita memberikan kritik dengan didahului oleh pujian, kemudian mengiringinya dengan kata “tetapi”, kemudian mengakhiri dengan pernyataan kritik. Hal tersebut seolah Anda meninggikannya, lalu menjatuhkannya sampai titik terendah. Tujuan atas kritik tersebut tentu takkan tercapai. Jika Anda ingin memuji, maka pujilah yang tulus. Ganti kata “tetapi” dengan kata “dan”. Misalnya, nilai anak Anda menurun pada ujiannya semester ini, karena kecerobohannya. Anda mungkin akan memujinya, “Ibu senang, nilaimu bagus pada semester ini. Tetapi, jika kamu mau berusaha, kamu pasti bisa mendapatkan yang lebih baik lagi”. Anak Anda mungkin senang karena Anda memujinya, tapi, itu hanya sampai pada kata sebelum “tetapi”. Ketika ia mendengar kata “tetapi”, ia akan meragukan kejujuran Anda dalam memujinya. Coba gunakan kata “dan” untuk membuatnya lebih percaya pada ketulusan Anda. Misalnya, “Ibu bangga karena nilaimu bagus semester ini, dan dengan berusaha keras, ibu yakin, semester depan kamu bisa juara kelas”.
Berikan contoh. Anda pasti kesal, jika anak-anak Anda bermain hingga membuat rumah berantakan dan meninggalkannya begitu saja setelah selesai. Jika Anda marah, mereka mungkin saja mengerjakannya untuk Anda. Tapi, tentu dengan kemarahan yang sama. Coba berikan mereka contoh. Anda bereskan mainannya hingga benar-benar rapi. Lalu, jika esok mereka ingin mulai bermain lagi, katakan pada mereka, “Ibu senang sekali kalian bermain dengan sangat bertanggungjawab seperti kemarin. Terimakasih telah membuat rumah kembali bersih”. Secara spontanitas, mereka tahu Anda sedang mengkritik mereka. Namun, karena Anda tidak menyebutkan kesalahan mereka secara langsung, mereka akhirnya memberikan timbal balik dengan cara selalu merapikan mainan setelah selesai bermain.
Sesuatu yang sederhana, bukan? Kuncinya hanya satu: perbaiki kemampuan komunikasi Anda dengan anak. Mari, kita bersama-sama meredam rasa marah, kesal, frustrasi, atas tingkah laku yang tidak mengenakkan. Kita coba menjadi lebih bijak. Karena kitalah orang  tua mereka, dimana mereka akan melihat dan mencontoh cara kita mendidik anak-anak. Jika kita salah dalam memberikan contoh, maka kelak mereka juga akan salah dalam mendidik anak-anak mereka. Lantas, bagaimana kita bisa mewujudkan generasi yang terbaik jika begitu?

MENJAGA EMOSI ANTAR ANAK

Tak hanya orang dewasa, anak-anak pun juga sering berbeda pendapat, pandangan, juga pemahaman. Apalagi sifat mau menang sendiri yang masih kuat hingga susah diberi pengertian. Pertengkaran juga bisa dipengaruhi kondisi emosi anak saat itu. Misalnya ia sedang kesal, capek, atau kecewa, maka anak jadi agak sensitif, kesenggol sedikit saja si kecil bisa marah-marah dan akhirnya bertengkar. Bertengkar juga bisa menjadi cara anak untuk mencari perhatian orang tuanya. Lalu bagaimana kita menyikapi dengan cara yang tepat?
  1. tidak terpancing emosi. Bersikaplah tenang sambil tetap melakukan pengawasan. Sembunyikan rasa kesal dan emosi yang akan muncul. Karena jika kita marah maka ia akan semakin menjadi-jadi.
  2. bila pertengkaran sampai pukul-memukul atau saling jambak-menjambak segera pisahkan keduanya. Tapi kalau hanya berdebat, orang tua cukup mengawasi saja. Dengan begitu pertengkaran akan berhenti dengan sendirinya. Setelah selesai baru dibahas dengan sang anak.
  3. lakukan dialog dengan anak. Setelah dileraikan dan anak sudah tenang semua, mintalah masing-masing anak untuk duduk dan bicarakan tentang apakah yang menjadi penyebab pertengkaran.
  4. jangan mengintervensi. Karena jika kita selalu mengintervensi dan berusaha mendamaikan anak, menentukan yang salah dan benar, dan membuat keputusan, maka anak takkan belajar untuk mencari solusi dari konflik yang dihadapi. Jadi biarkan anak mengungkapkan pendapatnya.
  5. berikan arah dan penguatan untuk solusi yang diungkapkan sang anak. Walaupun kita memberikan kesempatan anak untuk belajar mencari solusi, namun kita tetap harus mengarahkan anak dalam bermusyawarah.

0 komentar:

Posting Komentar